The Blog

KBRN, Banda Aceh – Gedung utama Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh Jantho dipenuhi riuh tepuk tangan. Bukan karena pertunjukan tari atau musik, melainkan karena sebuah pesan yang mengalun tegas dari Pj Gubernur Aceh, Safrizal . “Kita bukan negeri sarkas, mengharap atensi, dengan memaki,” ungkapnya dalam sambutan Dies Natalis ke-10 ISBI Aceh, Selasa (8/10/2024).

Kalimat itu menjadi gema. Mengingatkan kembali akan jati diri Aceh yang sebenarnya. Negeri yang kaya akan adat dan budaya, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan, dan keramahan. “Kita harus terus berjuang, cerdas menjawab segala tantangan sehingga menuju berperadaban tinggi dan maju,” tegasnya. Dan dalam perjuangan itu, ISBI Aceh memiliki peran yang sangat penting.

Safrizal menyoroti peran ISBI dalam melahirkan seniman-seniman yang memiliki latar belakang akademik. “Meskipun seniman-seniman dahulu kebanyakan tidak memiliki latar akademik dan tetap melahirkan karya-karya hebat, tentunya dengan memiliki latar akademik akan melahirkan berlipat-lipat seniman dan meningkatkan kualitas karya,” ungkapnya.

Ia berharap ISBI dapat terus mengembangkan dan memajukan seni dan budaya Aceh dengan melihat keberadaan seni dan budaya Aceh sebagai tantangan dan peluang. “Dengan usia yang sudah 10 tahun, ISBI diharapkan sudah cukup untuk bisa start berlari, menerjang, berjuang, cerdas menjawab segala tantangan sehingga berperadaban besar dan maju,” ujarnya memberi semangat.

“Dengan adanya sekolah formal seperti ISBI, akan banyak menghasilkan seniman hebat,” tegas Safrizal. “Juga dengan sekolah formal, akan melipatgandakan seniman dan pemaju kebudayaan di seluruh dunia. Oleh karena itu, dengan adanya sekolah formal seni ini, daerah yang memiliki nilai seni dan budaya tinggi, akan memiliki peradaban yang tinggi.”

Manifestasikan dengan Senyum, Majukan Peradaban Tinggi

Safrizal mengingatkan bahwa peradaban tinggi bukan hanya tentang kemajuan ekonomi dan teknologi, tetapi juga tentang nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. “Kita bukan negeri sarkas, mengharap atensi dengan memaki. Kita memang keras dalam sikap dan kepribadian, tetapi bukan keras dalam volume dan intonasi semata,” ujarnya. “Berteriak tanpa jelas maksudnya, berteriak tanpa jelas maknanya.”

Ia mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk mengisi kehidupan sosial dengan cara-cara berkebudayaan tinggi. “Mari perbaiki sikap dan gestur kita sehingga Aceh lebih dikenal beramah-tamah dan pemulia jamee,” pintanya. “Perbaikan yang butuh waktu panjang, namun tetap baik untuk dilakukan.”

Safrizal optimis bahwa Aceh dapat mengubah persepsi publik yang selama ini mungkin menganggap Aceh sebagai masyarakat yang keras dan tertutup. “Aceh merupakan sejak dari dulu adalah masyarakat dengan adat pemulia jamee,” tegasnya. “Manifestasinya adalah senyum yang ikhlas. Senyum itu adalah kebudayaan sekaligus ibadah. Sikap berkebudayaan ini, seharusnya eksis dalam kehidupan kita sehari-hari.”

Safrizal mengajak ISBI dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama merumuskan pemajuan kebudayaan Aceh. “Kita naikkan budaya kita menjadi berperadaban tinggi,” harapnya.

Dies Natalis ISBI Aceh ke-10 ini turut dihadiri dibuka oleh Rektor ISBI Aceh, Prof. Dr. Wildan, M.Pd. Hadir juga putra Aceh mengisi orasi ilmiah, yakni Prof Dr. Irwan Abdullah, seorang akademisi dan budayawan Aceh dari Universitas Gadjah Mada, (*)